Setiap pemilu, isu-isu agama selalu mengemuka. Habis itu agama dibuang.
Jumlah pemilih di Indo-nesia mayoritas adalah Muslim. Tak menghe-rankan bila para capres-cawapres mengguna-kan isu keagamaan untuk menjual citra dirinya. Justru isu-isu seperti ini yang menonjol dibandingkan dengan program yang ditawarkan oleh masing-masing pasangan.
Ada ‘tahlil politik’, ‘dzikir politik’, ‘istighosah politik’, ‘kenduri politik’, bahkan ‘jilbab politik’, hingga ‘shalat politik’ menjelang hajatan rebutan kursi kekuasaan baik di level desa hingga negara. Namanya juga tunggangan, nuansa politisasi terhadap ritual-ritual atau simbol simbol tersebut lebih kental di banding ibadah ritualnya itu sendiri.
Sekretaris Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Jawa Barat, Hadiyanto A Rachim, menjelaskan, dalam sistem de-mokrasi apapun peluang akan diambil termasuk bagaimana menarik konsitituen dari kala-ngan Islam. Yang terpenting bagi capres-cawapres bagaimana me-narik jumlah kepala sebanyak-banyaknya, bukan isi kepalanya.
“Jadi mereka tidak lagi bi-cara apakah memerlukan ulama ataukah tidak, bagi mereka tidak jadi persoalan. Dalam hal ini agama hanya dijadikan alat,” kata Hadiyanto yang juga dosen FISIP Unpad ini.
Upaya menjual agama demi kepentingan politik ini tidak lepas dari kondisi umat Islam yang mayoritas belum paham Islam dalam arti sebenarnya. Islam masih dipahami sekadar ritual atau ibadah mahdlah semata. Kenyataan ini menjadi-kan Islam dan umatnya sekadar menjadi obyek politik. Menurut Hadiyanto, kondisi ini muncul karena umat Islam tidak mengemban pemikiran Islam, terlebih lagi sangat minim pesantren yang mengajarkan siyasiyah (politik).
Seharusnya, lanjutnya, Islam tidak bisa dilepaskan dari politik demikian pula sebaliknya. “Jadi, politik merupakan bagian dari Islam, dan Islam tidak bisa tegak tanpa politik. Sekali lagi, politik merupakan bagian dari syariah. Jadi saya usulkan, istilah syariah seharusnya tidak hanya pada ekonomi, kenapa tidak politik syariah,” katanya kepada Lutfi Affandi dari Media Umat di Bandung.
Hal senada diungkapkan Ketua Lajnah Siyasiyah HTI Harits Abu Ulya. Menurutnya, politik adalah bagian integral dari Islam. Islam sebagai sebuah ideologi memberikan tuntunan atau solu-si baik di wilayah spiritual maupun di ranah publik (politik). “Tidak mungkin Mukmin yang paham dan jujur mencoba me-menjarakan Islam hanya diruang-ruang privacy (spiritualisme sempit), dan menjadikan ruang publik dengan segala aktifitas politiknya itu steril dari tuntunan Islam,” jelasnya.
Dengan pemahaman se-perti itu, ia menepis bahwa politik itu sebuah perbuatan kotor yang harus di kubur dan ditinggalkan. Lapi pula, tabiat semua manusia sebagai makhluk sosial menis-cayakan bahkan pasti berpolitik. “Bahkan sebagian besar syariat Islam sebagai solusi itu banyak diperuntukkan manusia dalam kehidupan politiknya. Jadi Islam itu ya politik ya spiritual artinya semua aspek kehidupan Islam hadir memberikan jawaban atau solusi baik menyangkut hu-bungan diagonal, horizontal dan vertikal,” terang Harits.
Karena itu, tuturnya, peno-lakan terhadap isu-isu agama tidak akan terjadi kecuali dalam kehidupan masyarakat yang sekuler dengan para politikus yang sekuler juga. Orang sekuler akan senantiasa menolak agama baik syariat atau sesuatu yang dianggap simbol agama agar agama tidak masuk pada ruang kehidupan politik.
Sayangnya, lanjut Harits, sebagian besar politisi sekuler itu dilahirkan dari keluarga Muslim. Mereka jauh dari cahaya Islam karena telah terkooptasi dengan pemikiran asing, bukan Islami.
Tak mengherankan bila mereka menjadikan agama se-bagai alat mencapai kepen-tingan. Menurutnya, mereka ber-sikap nifaq. Artinya, agama ini (Islam-red) akan diambil jika memberikan keuntungan atau kemaslahatan politik. “Tidak ha-nya kuda yang menjadi tung-gangan, tapi agama juga dijadi-kan kuda tunggangan untuk meraih kepentingan temporal yang namanya kekuasaan,” tan-dasnya.
Posisi Agama
Dalam konteks kehidupan masyarakat yang Islami, menurut Harits, sudah seharusnya para politisi memberikan perhatian utama pada urusan agama, artinya selalu mengangkat isu atau topik-topik agama yang kepentinganya adalah dalam rangka memberikan kontrol ke-pada penguasa agar dijaga pelaksanaannya. Perhatian itu didasarkan atas kesadaran spiritualnya. Yakni, kewajiban politik seorang Muslim dan ke-ridlaan Allah SWT-lah yang ingin diraihnya bukan kursi atau hen-dak menjatuhkan kursi pe-nguasa.
Ini berbeda dengan kondisi sekarang. Kaum Muslimin hidup dalam sistem masyarakat yang tidak Islami, jika agama diusung dalam konteks seperti ini yang terjadi adalah cenderung “poli-tisasi agama”, Islam akan selalu ditempatkan sebagai nilai sub-stitusi dari sistem yang ada. Dam-paknya, para politikusnya pun akhirnya banyak bersikap apo-logis (menyerah kalah sekaligus mengadopsi nilai yang kontra dengan prinsip-prinsipnya). Yang lebih parah lagi, mereka ber-usaha mencari ‘dalih’ dan ‘dalil’ pembenaran agar terkesan itu adalah pilihan syar’i, pendapat Islami. Bahkan dalih itu diang-gapnya sebagai ‘ijtihad politik’ yang hasilnya legal secara syar’i. “Padahal yang sebenarnya ada-lah mengebiri agama atas nama kemaslahatan politik,” tandasnya.
Ia berharap umat Islam, khususnya para politikus, mau mengkaji Islam seutuhnya. Agar mereka “ngeh” akan kesempur-naan Islam sebagai sistem kehidupan yang layak diterapkan bagi seluruh umat manusia. Jika semua melakukan itu ia yakin Indonesia akan menjadi tempat yang subur bagi bersemainya Islam kaffah.
Hanya saja, lanjutnya, se-mua membutuhkan ikhtiyar, perlu komunikasi politik yang intensif dan masif dari seluruh komponen gerakan Islam kepada seluruh komponen masyarakat dan negara. Ia meyakinkan, ha-nya dengan penerapan Islam sajalah Indonesia akan selamat dan bangkit dari keterpurukan multidemensi akibat sistem yang batil sekuler-kapitalis ini. “Yakin-lah! Masa depan Indonesia ada-lah milik umat Islam dengan penerapan syariat kaffah dan mewujudkan rahmatan untuk semua!” tegasnya.[mediaumat.com] mujiyanto